Selasa, 14 Februari 2017

MODEL PERKEMBANGAN KURIKULUM ALIRAN MONTESSORI


                                                                      PEMBAHASAN


A.    Riwayat Hidup Maria Montessori
Maria Montessori lahir di Italia pada tahun 1870 di Chiaravalle, sebuah propinsi kecil di Ancona. Ayahnya bernama Alessandro Montessori dan ibunya bernama Renilde Stoppani. Maria Montessori adalah dokter di bidang penyakit anak-anak, yang awalnya bekerja untuk anak-anak retardasi mental di klinik psikiatri Universitas Roma. Retardasi mental merupakan kelainan bawaan dengan kecerdasan di bawah rata-rata. Anak yang menderita kelainan ini sulit memahami konsep abstrak, sehingga mengalami kesulitan belajar membaca, menulis dan berhitung. Ia berhasil mengajarkan membaca dan menulis kepada anak retardasi mental, sehingga mereka bisa mengikuti ujian bersama anak-anak normal dan lulus.
Pada tahun 1906 Maria Montessori mendidirikan sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak penderita cacat mental di Roma, semuanya berumur dibawah lima tahun. Sekolah tersebut diberi nama “Casa dei Bambini” atau rumah anak-anak. Menurut Montessori pendidikan adalah aspek yang mendasar dalam pembentukan manusia. Pembentukan pada tahun-tahun awal yang berlangsung sangat cepat akan menentukan kepribadian anak setelah dewasa.[1]
Montessori melihat pendidikan yang dilakukan guru saat itu masih menggunakan pendekatan-pendekatan lama seperti, mengajarkan anak membaca dengan bercerita, sehingga ia menciptakan pendekatan yang berbeda dengan bahan yang konkrite sebagai gantinya, dia meyakini bahwa belajar bukan hanya persoalan mengikuti apa kata guru, tetapi benar-benar merasakan dan mengalami sesuatu hal. Pendekatan yang awalnya hanya untuk anak berkebutuhan khusus dan kemudian sukses, hal ini menggiringnya untuk memberikan pendekatan dan metode yang sama pada anak normal. Maria sangat percaya bahwa setiap anak ingin belajar dan untuk mencapainya kuncinya adalah kebebasan dan tata tertib.[2]
B.     Pandangan Metode Montessori
Montessori berpendapat “Walau di planet ini tidak terdapat gur atau sekolah, dan belajar bukanlah sesuatu yang dikenal, dan penghuninya tidak melakukan apa-apa, hanya hidup dan berjalan kesana-kesini, ternyata dapat mengetahui segala sesuatu, membawa mereka pada seluruh hasil pembelajaran, anda mungkin sedang berfikir bahwa saya sedang berkhayal? Namun, hal yang tampak sebagai khayalan itu sebenarnya sebuah kenyataan, inilah cara anak belajar, inilah jalur yang dia ikuti, dia mempelajari semuanya tanpa menyadari dirinya tengah belajar, dan dalam prosesnya sedikit demi sedikit dia mengirimkan pesan dari alam bawah sadar kealam sadarnya, dan selalu dalam situasi bahagia serta penuh cinta”[3]
Menurut Montessori saat anak menunjukkan minat pada suatu aktivitas pembeajaran apabila mereka cukup matang dan bersedia belajar, maka perlu disediakan lingkungan untuk anak bereksplorasi sesuai tahapannya, guru hanya menjadi fasilitator dengan mendorong anak ketika anak telah bersedia untuk belajar, dan menjawab dan membantu mereka ketika diperlukan, guru hanya fasilitator, bukan penentu bentuk pembelajaran apapun yang akan diterima anak.[4]
Anak adalah individu unik dan berkembang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Agar dapat berkembang secara optimal, anak membutuhkan lingkungan yang mendukungnya, termasuk orang dewasa. Orang dewasa harus menghilangkan sifat egosentris dan otoriter terhadap anak. Orang dewasa hendaknya menjadi fasilitator menciptakan iklim lingkungan yang kondusif, aman dan nyaman sehingga proses perkembangan anak dapat terjadi secara alamiah.
Montessori mengemukakan beberapa konsep asas dalam pembentukan kurikulum pada anak usia dini, diantaranya:
1.      The absorbent mindbahwa anak secara alami memiliki kemampuan menyerap pengetahuan secara langsung ke dalam kehidupan psikisnya. Anak belajar dari lingkungannya, ia belajar karena ia berpikir. Pengalaman yang diperoleh serta hal-hal yang dikatakan dan dilakukan oleh orang disekitarnya menentukan jenis dan kualitas belajar anak. Dimana pada usia 0-3 tahun anak akan menyerap semua apa saja tanpa ia sadari (usia The absorbent mind ), tapi saat umur 3-6 tahun anak secara sadar mulai menyaring apa yang ia ketahui secara selektif.
2.      Konsep berikutnya dalam metode Montessori yaitu periode sensitif yaitu munculnya masa kepekaan pada anak. Kepekaan itu terjadi dalam belajar sesuatu, misalnya dalam perkembangan pada usia 1-2 tahun, belajar menulis pada usia 4-4,5 tahun, dan membaca pada usia 4,5-5,5 tahun.[5] Dalam konsep Montessori anak memang diberi kebebasan untuk mengkonstruksi pengetahuannya, namun tidak dilepas begitu saja kelingkungan, dimana orang dewasa sebagai penyedia pengetahuan pertama dan berharga untuk AUD tetap memiliki peranan.
Anak-anak mampu menjelaskan persepsi mereka dan menyusun pengalaman melalui aktivitas yang sesuai, dalam pembentukan konsep diri di sekolah guru tidak perlu mengajar secara formal, guru hanya memperlihatkan dan membimbing anak dalam memilih aktivitas. kemudian anak memilih sendiri aktivitas secara bebas dan sukarela. Contoh saat mereka memasuki kelas,telah terdapat berbagai permainan atau sarana belajar yang disediakan, disini mereka bebas memilih kegiatan yang telah disediakan, saat memilih kegiatan menyusun menara, dimana disini disediakan contoh menara yang telah selesai dibuat, saat anak belum mampu menyusun menara mereka akan mendapat umpan balik dari apa yang ia kerjakan, maka ia akan terus mencoba(self correcting), jika belum mampu juga saat itulah peran guru diperlukan, setelah kegiatannya selesai, baru ia dapat melakukan kegiatan yang lainnya.[6]
Pada masa-masa pengujian ide-ide baru dan perbaikan-perbaikan metodenya, Montessori menemukan beberapa masa peka anak-anak yaitu :

Usia (tahun)
Periode kepekaan
Ciri perkembangan
0-3
Kepekaan keteraturan
Masa penyerapan total : perkenalan dan pengalaman panca indra sensorik
0-6
Kepekaan bahasa
Kemampuan menangkap makna kata atau symbol dan bahasa, lengkap dengan gramatikanya
1,2-1,5
Kepekaan berjalan
Masa penyempurnaan gerakan kaki dan berjalan dengan kokoh
2-4
Kepekaan ruang
Penyempurnaan gerakan , mulai memahami urutan waktu dan ruang.
2,5-6
Kepekaan terhadap detail
Penyempurnaan penggunaan panca indera, dimana anak menaruh perhatian pada objek-objek kecil
3-6
Kepekaan terhadap kehidupan sosial
Anak menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari teman kelompoknya dan muali peka terhadap pengaruh orang dewasa.
3,5-4,5

Anak mulai mencoret-coret
4-6
Kepekaan terhadap pelajaran
Anak telah siap menerima pelajaran dan memahaminya dengan akal sehat, dimana minat membaca mulai tumbuh [7]
Agar masa peka anak dapat berkembang dengan optimal, diperlukan pendidikan usia dini yaitu dengan memberikan perhatian terhadap kebiasaan, kepengetahuan, dan lingkungan pembelajaran anak.
C.    Konten Kurikulum Montessori
Dalam kurikulum Montessori, ia menganjurkan perlunya mengelompokkan aktivitas belajar dan material dalam bentuk beberapa area pusat latihan:
1.      Practical life. Memberikan pengembangan dari tugas organisasional melalui perawatan diri sendiri, perawatan lingkungan, melatih rasa syukur dan saling menghormati serta koordinasi dari pergerakan fisik.
2.      The sensorial are. Membuat anak mampu mengurut, mengklasifikasi dan menerangkan impresi sensori dalam hubungannya dengan panjang, lebar, temperature, masa, warna, titik, dan lain-lain.
3.      Mathematics. Memanfaatkan pemanipulasian materi agar anak mampu untuk menginternalisasikan konsep angka, symbol, serta urutan operasi
4.      Language art. Pengembangan bahasa lisan, tulisan, membaca, kajian tentang grammar, dramatisasi, dan kesastraan anak-anak. Keahlian dasar dalam menulis dan membaca dikembangkan dengan huruf dari kertas, kata-kata dari kertas pasir dan lainnya
5.      Cultural activities. Membawa anak-anak untuk mengetahui dasar-dasar geografis, sejarah dan ilmu sosial.[8]
Dalam Morpison menyatakan area yang difokuskan dalam pembelajaran Montessori:
1.      Kehidupan praktis. Lingkungan yang siap menekankan aktivitas motorik dasar sehari-hari, anak diajak untuk  melakukan latihan-latihan yang berbeda seperti berpakaian, memoles sepatu, membersihkan debu, melap meja, serta mencuci tangan. Ini bertujuan agar anak tidak ketergantungan dengan orang dewasa.  Semakin anak tenggelam dalam aktivitas, mereka secara bertahap akan memperpanjang rentang konsentrasi. Dengan mengikuti rangkaian tindakan yang teratur, mereka belajar memperhatikan hal-hal yang detail. Konsentrasi dan keterlibatan melalui indra memudahkan terjadinya pembelajaran, pengajaran verbal guru diupayakan seminimal mungkin, penekanan pada pembelajaran melalui menunjukkan cara, memberi contoh dan mempraktekkannya.
2.      Materi sensorik. Materi sensorik bertujuan melatih indra anak agar berfokus pada beberapa kualitas tertentu, membantu mempertajam kekuatan anak untuk mengamati dan membedakan secara visual serta meningkatkan kemampuan anak untuk berpikir, membedakan, mengklasifikasidan mengatur.  Selain itu materi sensori membantu mempertajam kekuatan anak mengamati dan membedakan secara visual. Keterampilan ini berfungsi sebagai dasar kesiapan membaca awal umum anak.
3.      Materi akademik untuk menulis, membaca, dan matematika. Penggunaan materi ini disajikan secara berurutan yang mendukung menulis sebagai basis pembelajaran membaca. Membaca muncul setelah menulis, sehingga anak tidak menyadari bahwa ia sedang belajar menulis dan membaca. Pada kelas Montessori sudah lazim anak umur 4 tahun membaca dan menulis, karena ia mempercayai bahwa anak memiliki kesiapan menulis saat usia 4 tahun, karena pada saat umur 3 tahun anak telah diransang semua latihan sensorik
4.      Fitur-fitur tambahan dalam kelas Montessori adalah kelompok usia yang beragam, dimana berisi anak-anak yang berbeda usia, dimulai dari usia 2,5 tahun hingga usia 6 tahun, dengan tujuan anak dapat saling belajar bersama, saling membantu, bagi anak yang lebih besar dapat menjadi contoh dan teman bekerja sama bagi anak-anak yang lebih kecil[9]
 Seiring dengan pendapat di atas esensi pendidikan Montessori meliputi empat hal diantaranya:
1.      Semua pendidikan adalah pendidikan diri sendiri, menurutnya perkembangan laksana sebuah anak panah yang lepas dari busurnya, melesat, lurus, cepat dan mantap, ia menyempurnakan dirinya dan mengatasi setiap rintangan yang dijumpainya sepanjang jalan yang ditempuhnya, jadi mustahil jika pendidik menuangkan kecerdasannya dan kemauannya, karena setiap anak telah mempunyai motivasi bawaan untuk belajar yang tidak bisa dicegah.
Dalam konsep Montessori anak-anak bukanlah seperti tong yang siap diisi, guru membantu anak didik pun bagi Montessori melanggar kode etik guru, dan dianggapnya merampas kebebasan anak, dalam artian misalnya saat anak berkerumun melihat suatu permaian, anak yang pendek yang tidak bisa melihat karena dibelakang, dan tidak bisa maju kedepan, dalam kondisi ini guru tidak boleh mengangkat anak tersebut sehingga bisa melihatnya, contoh lain saat anak terjatuh, guru tidak diperbolehkan membangunkannya, guru hanya berhak membesarkan hatinya untuk bangkit dan lari kembali, namun ketika anak sampai sakit dan tidak bisa bangun barulah anak mendapat bantuan, intinya jangan memanjakan anak.
2.      Kebebasan dalam proses belajar mengajar, anak didik harus diberi kebebasan seluas-luasnya. Tugas guru lebuh bersidat pasif dan hanya sebtasa memberi stimulasi agar anak tertarik dengan stimulasi, konsekuensinya dikelas Montessori tidak mungkin anak melakukan permainan yang sama. Bahkan anak-anak tidak boleh dipaksa duduk manis, diam, melihat satu arah, anak bebas untuk berdiri, berkeliara, tiduran dan bahkan berada diluar kelas.Montessori mengatakan “ tak satupun pekerjaan dapat dipaksakan, tidak boleh ada ancaman, hadiah atau hukuman, gurur harus bersikap pasif dan diam, menunggu dengan sabar dan nyaris menarik diri dari campur tangan aktif agar memberikan ruang bagi pengembangan jiwa anak”
3.      Ketertiban dalam pandangan Montessori bukanlah aturan ketat yang sering kali membelenggu kebebasan anak didik, tertib menurut Montessori adalah seperangkat aturan untuk menunjang proses belajar secara bebas, contoh tata tertib Montessori adalah anak tidak boleh mengganggu teman, tidak berlari-larian dalam kelas dan berteriak-teriak, jika melanggar tata-tertib, aka nada sanksi bagi anak, bukan hukuman fisik melainkan hukuman psikis berupa pengasingan atau skors.
4.      Pengembangan Indra sebagai gerbang jiwa anak, dimana segala pengertian dan konsep dalam pikiran anak adalah pengaruh indra semata melalui aktivitas konkret dan jelas, ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa Montessori menolak imajinasi, menurutnya khaya menunjukkan kemiskinan kerohanian dan tidak sesuai kenyataan, maka ia melarang anak bermain khayal, seperti anak bermain kereta api, anak laki-laki menjadi kondektur, anak perempuan menjadi ibu, sedangkan boneka menjadi anak, dan fantasi-fantasi lainnya tidak diperbolehkan.
Banyak yang menentang teori imajinasi Montessori, namun dalam pelarangannya fantasi yang dilarang adalah berfantasi yang membelenggu kreativitas, dimana anak-anak mengganti aktivitas bermainnya dengan berfantasi saja, mereka menolak untuk bermain walau alat permainannya tersedia, dan hanya duduk termangu sambil membayangkan fungsi benda-benda tersebut.
Beimajinasi tidak sepenuhnya salah apabila ditindaklanjuti dari apa yang diimajinasikan, menurut Montessori cakrawala mental anak tidak terbatas pada apa yang dilihatnya, ia memiliki jenis pikiran yang melampaui benda konkrite, ia memiliki kekuatan besar dalam berimajinasi dan penggambaran, yang bergantung pada kemampuan tingkat tinggi.[10]
            Dalam konten metode Montessori kurikulum yang dikembangkan adalah kurikulum terpadu dengan menggunakan area dalam pembelajaran, seperti area Practical life. The sensorial are, Mathematics, Language art dan Cultural activities. Ini semua membuat anak akan aktif dengan mempraktekkan berbagai hal dalam hidup, seperti membersihkan lingkungan sekitar. Dengan area sensori anak akan mencoba mempertajam pengamatan dan membedakan, setiap area memiliki fungsinya masing. Setiap area yang disediakan sebaiknya tidak melupakan esensi kurikulum Montessori dengan melihat pada tahapan perkembangan anak.
D.    Prinsip-prinsip Pendidikan Montessori
Pada pembelajaran metode Montessori, guru bukanlah pusat belajar, guru hanya mempersiapkan kebutuhan belajar anak. Dalam pembelajaran Montessori ada beberapa prinsip :
1.      Pendidikan diarahkan untuk hidup bebas dan merdeka
2.      Anak adalah individu yang unik dan berkembang sesuai kemampuan mereka sendiri, tugas orang dewasa adalah mendorong, mengarahkandan menfasilitasi perkembangan yang dibutuhkan anak.
3.      Setiap gerakan anak merupakan tututan jiwa dan raganya.
4.      Montessori mementingkan pendidikan panca indra.
5.      Tahun-tahun awal kehidupan anak merupakan masa pembentukan, baik fisik maupun mental. Masa awal juga merupakan periode sensitif karena mulai munculnya kepekaan anak untuk menyerap atau mempelajari sesuatu.
6.      Montessori menciptakan berbagai permainan untuk melatih panca indra, tetapi sifat menyenangkan itu menjadi kurang diperhatikan.
7.      Cara mendidik anak usia taman kanak-kanak tidak dijejal, tetapi berupaya menggali dan mengelola minat belajar mereka secara alami.
8.      Anak hendaknya diberi kebebasan dalam mengekspresikan diri mereka dalam belajar sesuatu pilihan minatnya. Sebagai implementasinya Montessori merancang pembelajaran berdasarkan area/sudut.
9.      Pada pendidikan Montessori dikenal adanya direkris (pengarah) yang bertugas memberi arahan dan dorongan belajar sesuai minat anak. Ia tidak mendominasi seluruh waktu belajar anak, anak diberi kebebasan belajar lebih banyak.[11]
Praktek Metode Montessori
Kurikulum terpadu
Montessori menyediakan kurikulum terpadu dimana anak-anak terlibat secara aktif dalam menggunakan materi konkrit sepanjang kurikulum-menulis, membaca, ilmu pengetahuan, metematika, geografi, dan seni, pada usia anak pada tahapan perkembangan.
Proses belajar aktif
Di kelas Montessori, anak terlibat secara aktif dalam proses belajar mereka sendirir. Alat bantu menjadikan proses belajar aktif dan konkrite.
Instruksi sendiri
Kurikulum dan kegiatan harus dibuat tersendiri untuk masing-masing anak, ini terjadi lewat interaksi anak dengan materi saat mereka melampaui tingkat penguasaan materi mereka sendiri.
Kemandirian
Lingkungan Montessori menekankan penghargaan terhadap anak dan mendorong keberhasilan anak, dan mendorong anak menjadi mandiri.
Penilaian yang tepat
Pengamatan adalah sarana utama untuk menilai kemajuan anak, prestasi dan perilaku, guru dalam kelas Montessori adalah orang terlatih dan cakap dalam menerjemahkan pengamatan mereka kedalam cara-cara tepat untuk memberikan bimbingan, memudahkan dan meneruskan proses belajar anak.
Praktek yang sesuai dengan perkembangan
Bahwa anak memiliki kemampuan lebih dari yang kita pikirkan [12]
Selain beberapa prinsip diatas, sebagai bentuk pendekatan pembelajaran yang menggunakan kegiatan bermain dalam pembelajaran sehingga anak merasa tidak sedang belajar, karena Montessori menganggap permainan sebagai sebuah kebutuhan, sesuatu yang menyenangkan , suka rela, kreativitas, penuh arti, dan spontan. Menurut Montessori dalam bermain anak bukan hanya “main-main” tetapi mereka “sungguh-sungguh bermain” bagi Montessori bermain adalah “bekerja” bagi anak-anak yang sesungguhnya atau lebih dari hanya sekedar belajar.
Prinsip lain dalam pembelajaran kurikulum Montessori dalam mendukung pembelajaran yang bebas dan mardeka, serta student centerdimana mereka memiliki 80% aktivitas sendiri, dan 20% aktivitas yang diarahkan guru, dimana guru mendorong anak untuk melakukan berbagai tugas dan mengupayakan agar anak memiliki kesempatan untuk menjalin hubungan sosial melalui interaksi yang bebas, pemahaman anak adalah ditemukan oleh anak itu sendiri, tidak disajikan oleh guru.
Aturan pengucapan didapat melalui pengenalan pola bukan hafalan, dan setiap aspek kurikulum melibatkan pemikiran. Dalam pendekatan Montessori tidak masalah anak umur 3-5 tahun diajari kemampuan bahasa (menulis, membaca dan bicara), ini dapat disesuaikan dengan kemampuan, tingkat perkembangan, kepekaan belajar, dan yang tepenting disini adalah strategi pengalaman belajar dan ketepatan dalam mengajar.[13]
Ada beberapa pinsip dasar yang harus kita pahami ketika membahas tentang kurikulum Montessori pembelajaran adalah proses yang bebas dan mardeka dimana bentuk pembelajaran adalah pembelajaran terpadu dengan menggunakan area atau sudut, dengan meyakini dengan melakukan kegiatan bermain anak dapat mengembangkan kemampuan anak, dimana anak memiliki 80 % kegiatan sendiri dan 20% kegiatan yang diarahkan guru, dan saat umur 3,5 tahun anak telah dapat distimulasi untuk belajar bahasa
E.     Kelebihan dan Kekurangan Metode Kurikulum Montessori
a.      Kelebihan
1.      Bersifat student center dimana guru tidak lagi mendominasi pembelajaran, sehingga anak dapat berkembang dengan pengalaman yang konkrite.
2.      Konsep-konsep pendekatan Montessori dapat diberikan pada anak dari berbagai latar belakang dan kondisi yang beragam.
3.      Guru yang terlibat dalam sekolah Montessori adalah orang-orang berpengalaman dan terlatih dibidangnya.
4.      Berhasil menghasilkan konsep dan material/alat pendidikan yang sistematis dan operasional sesuai dengan tahapan perkembangan dan kemampuan anak
5.      Memiliki laboratorium sekolah dan sistem penyelenggaraan yang terkontrol terhadap seluruh sistem pendidikan Montessori
6.      Mengeluarkan panduan-panduan tentang sistem pembelajaran di sekolah Montessori
7.      Menggabungkan anak dari berbagai usia yang berbeda akan membentuk sikap menghargai, menghormati, imitasi sikap dan saling membantu pada anak 
b.      Kekurangan
1.      Terlalu bersifat perseorangan, sehingga memerlukan rasio perbandingan antara guru dan murid yang kecil
2.      Memerlukan media pembelajaran yang sangat beragam serta harga material yang sangat mahal sulit terjangkau oleh sekolah-sekolah umum
3.      Pelatihan penyelenggaraan konsep pendidikan Montessori sangat maha bagi guru-guru di sekolah umum
4.      Pendekatan ini menggabungkan anak yang beragam usia dalam pembelajarannya, ini akan menyulitkan guru dalam menilai perkembangan anak yang tiap usia berbeda tahap perkembangannya. 
5.      Kurangnya penekanan dalam perkembangan sosial dan bahasa, karena anak-anak dalam memilih aktivitas sendiri tanpa keterlibatan dalam kelompok, serta kurangnya kreativitas dalam seni dan music tradisional.





[1]Masnipal.Siap Menjadi Guru dan Pengelola PAUD Profesional. (Jakarta:Gramedia,2013) h 40
[2] Lee, Angeline. Developing Intelligence In Babies & Toddlers. (Malaysia: Pt Alex Media, 2007)h 74
[3] Amstrong, Thomas. The Best School. (Bandung: Mizan, 2006) h 94
[4] Menon, Neni & Madya. Panduan Kurikulum Prasekolah. (Malaysia: PTS Profesional, 2003) h 7
[5]Masnipal.Siap Menjadi Guru dan Pengelola PAUD Profesional. (Jakarta:Gramedia,2013) h 40
[6] Lee, Angeline. Developing Intelligence In Babies & Toddlers. (Malaysia: Pt Alex Media, 2007)h 74

[7] Sudono. Anggani.Sumber Belajar dan Alat Permainan AUD. (Jakarta: Grasindo. 2000) h 17
[8]Asmani Jamal Ma’mur. 2009. Manajemen Strategi Pendidikan Anak Usia Dini. (Jogjakarta: DIVA Press) h 152

[9]Morrison George S.Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini. (Jakarta Barat: Indeks) h 113

[10] Suyadi dan ulfah. Konsep Dasar PAUD. Bandung: (Remaja Rosdakarya. 2013) h 99
[11]Masnipal.Siap Menjadi Guru dan Pengelola PAUD Profesional. (Jakarta:Gramedia,2013) h 44
[12] Morison, George. Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini. (Jakarta: Indeks,2012) h 115
[13]Asmani jamal ma’ruf. 2009. Manajemen strategi PAUD (Jogjakarta: DIVA Press) h 152

2 komentar:

  1. Ironing Ironing Ironing Ironing Ironing Ironing Ironing Ironing
    Ironing Ironing Ironing Ironing Ironing titanium mens wedding band Ironing Ironing Ironing Ironing winnerwell titanium stove Ironing Ironing Ironing Ironing Ironing Ironing titanium pan Ironing Ironing titanium alloy Ironing titanium gold Ironing

    BalasHapus